Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerjalah

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Sabtu, 31 Desember 2011

Membangun Soliditas dengan Kader Berkualitas


Oleh : Solikhin Abu Izzuddin

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (q.s. Ash-Shaff: 4)


Dimulai dari kader berkualitas

“Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”

Sebuah soliditas adalah keniscayaan dalam jamaah dakwah. Kita memerlukan energy untuk terus membangkitkan semangat dan menghadirkan sosok-sosok pilihan yang mampu memaknai peran tanpa kehilangan jatidiri sebagai aktifis pergerakan. Kader yang senantiasa tegas dan lantang dalam menyuarakan perubahan demi perubahan. Seperti Abu Ubaidah ibnul Jarrah yang tetap teguh menjaga kepribadian. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda memuji Abu Ubaidah bin Al Jarrah, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”

Bagaimana sosok Abu Ubaidah hingga mendapat pujian sebagai orang kepercayaan? Inilah rahasia super murabbi yang hendak kami sajikan. Beberapa episode penting dalam kehidupannya menjadi inspirasi bagi para murabbi untuk terus menempa diri menghadirkan prestasi demi prestasi dalam setiap episode tarbawi dan dalam setiap mihwar da’awi alias orbit dakwah.

Pada suatu hari Abu Ubaidah dan beberapa tokoh kaum Quraisy lainnya pergi ke rumah keluarga Al Arqam untuk bertemu secara langsung dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Oleh beliau, mereka ditawari masuk Islam, dan diperkenalkan syari’at-syari’atnya. Dengan tekun dan tenang Abu Ubaidah mendengarkan apa yang disampaikan oleh beliau. Diam-diam ia mencuri pandang wajah beliau yang nampak sangat rupawan dan bercahaya. Jenggot yang tipis menambah ketampanan beliau. Dan ketika mata Abu Ubaidah beradu pandang dengan mata beliau yang sejuk, seketika ia langsung menunduk dan merasa malu sendiri.

Begitu selesai mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Ubaidah dan kawan-kawannya segera menyatakan beriman dengan suka rela dan atas kesadaran sendiri, setelah Allah Ta’ala berkenan membukakan hati mereka menerima Islam. Maka dalam waktu yang sama, Abu Ubaidah dan kawan-kawannya sudah menjadi orang muslim.

Yang menarik dari pribadinya adalah sikap-sikap bijaknya dalam mengatasi konflik. Mampu menyelesaikan masalah-masalah pelik dengan strategi yang sangat cantik dan unik.

Berjiiwa Besar dalam Perang Badar

Dalam perang Badar menghadapi konflik batin yang sangat berat. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, banyak para sahabat Nabi syahid di tangan ayahnya sendiri. Terjadi konflik batin, antara membela sahabatnya atau memerangi ayahnya. Dia harus mengambil keputusan. Dia harus bersikap tegas mengatasi konflik itu, dia harus memerangi dan membunuh ayahnya yang musyrik. Dia memenangkan keputusannya. Membunuh ayahnya. Dengan tangannya. Sungguh sebuah medan konflik yang telah diselesaikan dengan cantik.

Dia segera bisa mengambil keputusan yang tegas. Ia lebih mementingkan membela imannya kepada Allah dan mengutamakan akidahnya yang murni daripada menuruti perasaannya sebagai seorang anak terhadap ayahnya. Tanpa ragu-ragu, dia mendekati ayahnya. Segera melancarkan serangan yang mematikan ke tubuh ayahnya, sebelum didahului oleh temannya sesama pasukan muslim. Dan seketika ayahnya tewas di tangannya.

Momentum dalam Perang Uhud

Dalam perang Uhud. Ketika pasukan orang-orang musyrik menyiarkan kabar bohong bahwa Nabi saw telah terbunuh. Pasukan muslimin guncang. Putus asa. Kendor semangatnya. Menyaksikan hal ini Abu Ubaidah segera menghampiri Nabi saw yang sedang mendapat serangan yang sangat gencar. Bibirnya Nabi terluka. Gigi depannya retak. Pelipisnya memar. Wajah berlumuran darah. Luka. Tepat ketika di dekat Nabi, Abu Ubaidah melihat darah mengalir deras dari wajahnya yang elok. 

Berkali-kali dia segera berupaya menyeka darah yang terus mengalir. Dia menanggalkan salah satu gigi depan Nabi yang sudah retak dengan cara menggigit. Menggunakan giginya. Tanpa peduli, sekuat tenaga dia tarik gigi depan beliau sehingga akhirnya tanggal. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa sakit yang luar biasa pada beliau. Tak ayal, darah pun mengucur deras dari mulut Nabi. Tetapi dia merasa senang karena bisa mengurangi rasa sakit yang dialami oleh beliau. Itulah sisi lain Abu Ubaidah, berani mengambil resiko terberat agar Rasulullah selamat. 

Berhasil dalam Perang Dzatus Salasil

Ketika Rasulullah saw mengutus Amru bin Ash dalam perang Dzatus Salasil, bersama 300 prajurit kaum muslimin. Tatkala mereka mendekati kabilah-kabilah tersebut, ternyata jumlah pasukan musuh amatlah besar. Amru bin Ash kemudian meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah saw untuk memperkuat skuad pasukan kaum muslimin. 

Rasulullah saw pun mengutus Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama 200 pasukan tambahan. Di dalam pasukan terdapat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasullah juga mengamanahkan panji kepemimpinan pasukan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan memerintahkan segera menyusul pasukan Amru bin Ash seraya berpesan agar mereka bersatu padu dan tidak berselisih paham.

Ketika Abu Ubaidah tiba bersama pasukannya dan hendak mengimami seluruh pasukan tersebut —karena panji-panji kepemimpinan pasukan sebelumnya diserahkan oleh Rasulullah saw kepadanya—, Amru bin Ash berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau datang kemari untuk menambah pasukan yang aku pimpin. Dan aku adalah komandan pasukan di sini.”

Bagaimanakah sikap Abu Ubaidah?

Abu Ubaidah mematuhi apa yang dikatakan oleh Amru bin Ash yang akhirnya memimpin pasukan kaum Muslimin dan meraih kemenangan.

Saudaraku, Abu Ubaidah mampu memahami esensi pesan Nabi dan tetap menahan diri. “Hendaklah kalian semua bersatu padu dan tidak berselisih paham.” Padahal jelas, Rasulullah menyerahkan panji-panji kepemimpinan pasukan kepadanya, mengapa dia tidak merebut kepemimpinan itu?

Mengapa dia mengalah? Mengapa dia rela dipimpin oleh Amru bin Ash? Mengapa? Justeru di situlah keunggulan integritasnya. Pemimpin sejati adalah yang siap memimpin dirinya sendiri dan lebih mengutamakan soliditas dengan menjaga hubungan daripada memenangkan situasi.

Melejit dalam Berbagai Situasi Sulit

Ketika Rasulullah wafat, terjadi krisis kepemimpinan yang sangat sulit, menyulut konflik dan hampir-hampir memecah belah umat. Kaum muhajirin memilih Abu Bakar, kaum Anshar lebih memilih Sa’ad bin Mu’adz. Di tengah konflik inilah muncul nama Abu Ubaidah. Dia yang dipersaudarakan oleh Nabi dengan Sa’ad bin Mu’adz, tokoh puncak kaum Anshor. Sebenarnya ini sebuah pilihan yang tepat untuk perekat umat. Ini ‘kan kesempatan emas untuk berbuat, memberikan kontribusi penuh manfaat. Namun Abu Ubaidah melihat sesuatu yang oleh orang lain tidak terlihat. Dia bertindak cepat, lalu berseru dengan tawadhu,”Bagaimana kalian bisa mencalonkan aku, sementara di tengah-tengah kalian ada seseorang yang lebih hebat?”

Dia merasa Abu Bakar pilihan yang lebih tepat. Akhirnya Abu Ubaidah segera mengambil tangan Abu Bakar untuk berbaiat padanya, diikuti oleh Umar. Umat pun terselamatkan dari perpecahan. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Alhamdulillah.

Episode demi episode dilalui Abu Ubaidah penuh dengan pilihan-pilihan sulit. Saat berperang melawan Romawi di bawah pimpinan Heraklius, dalam kondisi terdesak dia mengutus kurir menemui sang khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq di Madinah untuk meminta pertimbangan. Khalifah mengirimkan pasukan tambahan dalam jumlah yang sangat besar untuk membantu pasukan yang sudah ada, seraya menginstruksikan:

“Aku mengangkat Khalid bin Al Walid sebagai panglima untuk menghadapi pasukan Romawi di Syiria. Dan aku harap kamu jangan menentangnya. Tetapi ta’atilah dia, patuhilah perintahnya. Aku memang sengaja memilihnya sebagai panglima, meskipun aku tahu kamu lebih baik daripadanya. Tetapi aku yakin dia memiliki kelihaian perang yang tidak kamu miliki. Mudah-mudahan Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.”

Abu Ubaidah menerima perintah khalifah dengan lapang dada. Rela sepenuhnya. Dia sambut Khalid bin Walid dengan suka cita. Dia serahkan tampuk kepemimpinan kepadanya dengan sikap hormat. Khalid tahu, Abu Ubaidah seorang komandan yang cerdas, berpengalaman, dan pemberani. Dia menunjuk Abu Ubaidah sebagai komandan pasukan kavaleri. Lalu pasukan berangkat. Mengepung Damaskus. Khalid bin Walid bergerak ke pintu gerbang kota sebelah timur, Abu Ubaidah bergerak ke pintu gerbang daerah Jabiyah. Komandan-komandan yang lain bergerak ke gerbang masing-masing. 

Kekuatan pasukan kaum muslimin berhasil mengepung kota yang sangat kuat tersebut dari segala penjuru. Karena terus didesak, penduduk kota Damaskus berusaha melakukan perlawanan dengan sangat gigih untuk mempertahankan kota mereka yang tercinta. Di tengah keadaan yang sangat genting tersebut, ketika pasukan kaum muslimin bertempur habis-habisan dengan pasukan Romawi, Umar bin Khattab ra menemui Abu Ubaidah. Membawa kabar, Abu Bakar telah wafat. Umar juga hendak memecat panglima Khalid bin Al Walid, mengembalikan kepemimpinan kepada Abu Ubaidah. 

Abu Ubaidah menyembunyikan berita duka agar tidak terdengar oleh pasukan kaum muslimin yang sedang gigih bertempur di bawah komando panglima Khalid bin Walid melawan pasukan Romawi. Dia khawatir berita kematian sang khalifah Abu Bakar membuat suasana gempar sehingga kekuatan jadi buyar. Bahkan surat Umar untuk pemecatan Khalid bin Al Walid dia tahan, mencari waktu yang tepat benar. Sebab, mereka tengah menghadapi pasukan yang sangat tangguh. Bahkan keadaan pasukan kaum muslimin sedang terdesak. Abu Ubaidah tetap tegar dan tidak mau menyerah. Dia terus berjuang habis-habisan. Dia merasa jika terus menerus mengepung kota Damaskus yang sangat kuat, bisa menguras kekuatan pasukan kaum muslimin, melemahkan semangat mereka, dan menimbulkan kebosanan. Akhirnya dia mencari jalan keluar. Menawarkan gencatan kepada penduduk kota Damaskus. Namun dalam waktu yang bersamaan Khalid bin Al Walid baru saja berhasil mendobrak pintu gerbang kota sebelah timur sehingga dapat memasuki kota tersebut dengan leluasa.

Abu Ubaidah dan Khalid bin Al Walid lalu bertemu. Mereka terlibat perdebatan sengit tentang apa yang harus dilakukan terhadap kota Damaskus, apakah ditaklukkan dengan kekerasan atau memilih jalan damai, gencatan senjata?

Abu Ubaidah bersikukuh menempuh jalan damai dengan penduduk Damaskus, sehingga Khalid bin Walid pun luluh. Mengalah demi menghormati Abu Ubaidah yang terlanjur telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Damaskus. Khalid bin Al Walid tunduk patuh kepada Abu Ubaidah setelah mengetahui bahwa dirinya sudah dipecat sebagai panglima oleh Umar bin Khattab, khalifah yang baru.

Belajar Keulungan dari Abu Ubaidah

Mari kita belajar dari salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Surga, dialah Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Seluruh mozaik kehidupannya perlu kita telisik dengan unik karena sosoknya mencerminkan kader pengokoh soliditas jamaah terutama di saat sulit, dalam berbagai medan konflik dapat dilalui dengan cantik. Kalau surga merindukannya tentunya ini pula yang menjadi obsesi kita.
  • Pertama, cepat merespon kebaikan demi kebaikan sejak pertama kali bergabung bersama Islam. Prestasi keislamannya dan berbagai peran unggulannya munculnya dari tarbiyah yang paripurna. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (q.s. An-Nahl: 128)
  • Kedua, memiliki visi yang kuat dalam berjamaah. Yakni keterikatan dia pada jamaah karena ikatan visi, ikatan aqidah, keimanan, dakwah dan ukhuwah bukan karena ikatan kepentingan berupa jabatan, gengsi popularitas maupun kenikmatan duniawi yang sesaat. Medan konflik peran dan konflik batin mampu dilalui dengan sangat manis karena orientasi rabbani benar-benar menghunjam dalam diri.
  • Ketiga, mampu mengelola perbedaan menjadi kekuatan dan mensinergikannya menjadi jalan kemenangan demi kemenangan meski kemenangan tersebut bukan diatas namakan pada dirinya. Dia mampu menahan diri untuk tidak begitu menyampaikan berita-berita penting di saat-saat genting agar tidak menimbulkan konflik yang meruncing. Seorang murabbi dan para pemimpin dakwah mesti memiliki kecerdasan praktis seperti ini. Yakni kecerdasan untuk mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang tertentu, mengetahui kapan mengatakannya, tahu bagaimana mengatakannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. (Robert Sternberg – dalam buku OUTLIERS Malcolm Gladwell)
  • Keempat, organisasi adalah system dan sarana bukan tujuan. Dalam menjaga soliditas jamaah dakwah Abu Ubaidah sangat peka merasakan betapa pentingnya menjaga soliditas team dan keberlangsungan system karena adanya tujuan-tujuan agung dakwah yang hendak diraih bersama.
  • Kelima, Selalu berorientasi memberi. Bila setiap kader memiliki jiwa seperti Abu Ubaidah kita akan merasakan atmosfer tarbiyah dan aura dakwah begitu melimpah ruah karena para ikhwah adalah barisan orang-orang yang sadar untuk memberikan kontribusi dalam perjuangan. Dan ini bisa dibangun dari lima pilar kesadaran berorganisasi atau berjamaah dalam kemenyeluruhan dakwah Islamiyah, yakni :

1. Individu bagian dari FUNGSI pencapaian TUJUAN. 
2. Semangat MEMBERI mengalahkan semangat MENERIMA. 
3. SIAP menjadi TENTARA KREATIF dalam bingkai KESETIAAN dan KETAATAN.
4. Berorientasi pada KARYA bukan POSISI
5. BEKERJASAMA walaupun BERBEDA
(M. Anis Matta, Dari GERAKAN ke NEGARA)


Bukan Menuntut tapi Memulai…

Soliditas itu dimulai dan dibangun dari dalam diri setiap kader dakwah, murabbi dan murabbiyah secara sadar. Sebab kebanyakan orang keluar dari organisasi --menurut Azim Premji Milyuner Muslim dari India—bukan karena tidak cinta kepada organisasinya namun karena manajemen yang buruk. Nah, kader-kader dakwah yang clear, care and competence mesti menjadi pelopor kebaikan dalam diri dengan mampu menjaga quwwatush shilah billah yang terimplementasi dalam ranah ukhuwah dari tataran dasar salamatush shadr hingga puncak itsar. 

Inilah cara sehat untuk sehat. Kita sehat kalau berpikir untuk memberi manfaat kepada orang lain dan kita mudah lelah dan sakit bila hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Saat kita memberikan yang terbaik, sesungguhnya kebaikan itu akan kembali kepada kita juga.

Saudaraku, mari kita membentuk diri dengan spirit keulungan seorang murabbi sejati. Super murabbi didikan Rasulullah. Abu Ubaidah yang mampu mengelola konflik demi konflik dengan apik. Bukan untuk kebesaran dirinya tapi untuk kemenangan bersama. Kemenangan besar. Itulah yang mensurgakan perannya, yang mengangkat kebesaran jiwanya. Keunggulan dalam ketawadhu’an. Ketegasan dalam kesabaran. 

Dibutuhkan kesabaran yang super seperti Abu Ubaidah untuk bisa meraih kemenangan yang besar. Kesabaran untuk kebesaran. Itulah cara mengelola sikap optimisme agar menjiwa, mendarahdaging, mensumsum tulang dalam berpikir menang. Kemenangan di alam jiwa, kemenangan di alam nyata.

Begitulah hidup. Lebih bermakna bila fokus pada kualitas tanpa meremehkan kuantitas. Adapun bila kualitas bergabung dengan kuantitas tentu akan menjadi kekuatan super dahsyat. Seperti kejeniusan pikiran seorang pemimpin, bersarang dalam hati yang ikhlas, tegak di atas fisik yang kuat, dan tampak dalam kemuliaan akhlak.

Semoga kita bisa mewujudkannya… dan itu dimulai dari dalam diri setiap ikhwah, kader-kader dakwah dan tarbiyah. Ya Ayyuhalladziinaa aamanuu intanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.

-----
Maraji’:
1. Sepuluh Orang yang Dijamin Masuk Surga - 
2. Outliers – Malcolm Gladwell
3. Dari Gerakan ke Negara – Anis Matta
4. Happy Ending full Barokah – Solikhin
5. Azim Premji ‘Billgate Muslim’ dari India – Haris Priyatna

Rabu, 21 Desember 2011

Ibu Sebagai Poros Perubahan Bangsa

Oleh: Hj. Herlini Amran, MA.

Kirim Print
0
email

Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)
dakwatuna.com – Tiap tahun tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Hari Ibu ditetapkan oleh  Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, dan sejak itu Hari Ibu dirayakan secara nasional. Adanya Dekrit Presiden ini menggambarkan pada kita betapa negara ini memberikan penghargaan atas peran dan kontribusi yang telah diberikan para Ibu. Bahkan perubahan sebuah bangsa menjadi maju dan bermartabat juga tak lepas dari peran dan kontribusi para ibu.
Peran dan kontribusi ibu dapat dilihat dalam berbagai aspek. Pertama, peran dalam keluarga. Di dalam keluarga Ibu memegang peranan di dalam membangun keluarga yang harmonis. Dari keluarga yang harmonis inilah akan terlahir masyarakat dan bangsa yang juga harmonis. Jadi, peran ibu di dalam keluarga sangat besar untuk mengokohkan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga yang dimaksud adalah suatu kondisi keluarga yang harmonis, berdaya, berprestasi dan menjadi teladan bagi masyarakat.
Dengan adanya ketahanan keluarga, maka berbagai persoalan dan tantangan dapat dihadapi. Sehingga keluarga mempunyai peran kontribusi bagi masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, agenda ketahanan keluarga perlu menjadi agenda pembangunan nasional sehingga setiap ketahanan keluarga bangsa Indonesia menjadi semakin kokoh. Kokohnya ketahanan keluarga akan mengokohkan ketahanan nasional.
Kedua, peran kemasyarakatan. Sebagai bagian dari anggota masyarakat maka setiap Ibu memiliki berperan dan berkontribusi di dalam upaya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam arti yang seluas-luasnya. Peran dan kontribusi ini akan dapat dijalan secara optimal ketika para Ibu memiliki kapasitas yang memadai. Untuk itu, proses pembelajaran menjadi penting untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman.
Firman Allah SWT QS. Al Mujadilah ayat 11 dinyatakan bahwa Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Bahkan dalam HR. Muslim dijelaskan juga bahwa Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Ini menggambarkan pada kita betapa mulianya orang-orang yang berilmu.
Ketiga, peran kebangsaan. Sejarah juga telah mencatat adanya para ibu yang menjadi pahlawan. Mereka berjuang untuk melakukan perubahan dengan merebut kemerdekaan dan melepaskan tanah airnya dari para penjajah. Dalam konteks sejarah, perempuan mempunyai peran dan kontribusi besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pahlawan perempuan yang telah diakui sebagai pejuang antara lain Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, dan lainnya. Karakter para Ibu pejuang dapat menjadi pembelajaran bagi generasi saat ini dan mendatang. Untuk itu, kita berharap peran media bisa lebih optimal lagu untuk mengungkap dan mensosialisasikan karakter para Ibu pejuang bangsa ini.
Di era modern sekarang ini tentu peran dan kontribusi para ibu menjadi sangat penting dalam upaya melahirkan generasi berkualitas, beriman dan bertaqwa. Sehingga para generasi penerus ini mampu mengelola bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bermartabat dan sejahtera. Hadirnya generasi berkualitas sekaligus beriman dan bertaqwa menjadi jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa. Bahkan mereka inilah yang diharapkan akan mampu membangun bangsa ini menjadi lebih maju dan bermartabat.
Peran dan kontribusi Ibu juga sangat penting di dalam menjawab berbagai persoalan bangsa yang masih mendera bangsa terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan moral dll. Khusus di bidang pendidikan, Indonesia saat ini masih tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain. Hal ini dilihat dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan Badan Pembangunan PBB (UNPD) dimana disebutkan bahwa IPM Indonesia turun menjadi peringkat 124. Padahal tahun lalu (2010) Indonesia berada pada peringkat 108. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan anggaran untuk pendidikan yang jumlah minimal 20% persen dari APBN tahunan.
Peran dan kontribusi itu akan dapat dilakukan dengan adanya pengetahuan, keikhlasan dan pengorbanan. Pengetahuan merupakan dasar agar setiap para ibu memiliki dasar dan pemahaman terhadap berbagai hal. Dengan ilmu para ibu menjadi yakin akan kebenaran yang dipahaminya.  Keikhlasan akan menjadi kekuatan untuk tidak pantang menyerah di dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Begitu juga dengan pengorbanan, membuat kita terus bersemangat untuk mencapai yang lebih baik lagi. Sungguh peran dan kontribusi Ibu tak bisa tergantikan sebagai poros perubahan bangsa. Peran dan kontribusi para Ibu inilah yang telah menghasilkan para pemimpin-pemimpin bangsa. Selamat hari Ibu, bakti yang tulus dan kiprah yang tak tergantikan, untuk bangsa yang berjaya. Wallahu a’lam bish showab.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/17502/ibu-sebagai-poros-perubahan-bangsa/#ixzz1hB9of4Lc

Cinta Dunia Takkan Selaras dengan Cinta Akhirat


Imam Ibnu Al-Jauziy*
Saya melihat keresahan manusia dikarenakan mereka berpaling dari Allah dan selalu terjerumus dalam cinta dunia yang kelewat batas. Setiap kali ia kehilangan dunia, ia merasa gelisah luar biasa.

Adapun orang yang dikaruniai makrifat kepada Allah akan selalu tenang menghadapi hidup, karena hidupnya penuh dengan keridhaan menerima ketentuan Allah. Apa pun yang telah ditakdirkan baginya akan selalu diterima dengan penuh kerelaan. Jika berdoa namun tidak diterima, tak terlintas dalam kalbunya kecaman kepada Sang Khaliq, karera ia sadar bahwa dirinya hanyalah hamba yang diatur oleh "Tuan"nya. Yang penting baginya adalah mengabdi sebaik-baiknya kepada Sang Khaliq.

Dari situ akan muncul sifat tidak tamak dalam mengumpulkan dunia dan tidak berpura-pura untuk mendapat simpati manusia serta tidak larut dalam gelombang hawa nafsu. Dalam dirinya telah tertanam satu keinginan untuk mencapai yang kekal dengan mengorbankan yang fana.

Orang yang memiliki makrifat akan tidak disibukkan dengan segala kepentingan-kepentingan yang ada; kesibukannya terkuras untuk melayani Sang Pemilik hal-hal itu. Anda bisa melihat ia sangat santun tatkala berduaan dengan-Nya dalam khalwat dan munajat namun sangat asing ketika bergaul dengan manusia-manusia makhluk-Nya, ridha dengan takdir yang digariskan padanya.

Adapun orang yang tidak dikaruniai itu semua akan berada di dalam kubangan lumpur kotor kehidupan. Bayangannya untuk mendapatkan dunia yang ia inginkan tak mungkin akan terwujud semua. Jadilah ia dikepung oleh keinginannya sendiri dan merana melihat nasibnya. Oleh karena keburukan tingkah lakunya di dunia, ia pun merana di akhirat karena tidak mempersiapkan untuk akhiratnya.

Semoga Allah memperbaiki ihwal kita sehingga kita bisa menempuh jalan-Nya.


*)dikutip dari Kitab "Shaidul Khathir"

Selasa, 20 Desember 2011

Suatu Hari Bersama Nabi



Kultwit #Nabi
Salim A. Fillah
Pembina Majelis Jejak Nabi Masjid Jogokariyan Jogja



  1. Suatu malam menjelang kedatangan pasukan Ahzab ke Madinah, demikian Sa’d ibn Abi Waqqash berkisah, keadaan demikian mencekam. #Nabi
  2. Sungguh tepat apa yang digambarkan Allah; tak tetap lagi penglihatan kami & hati serasa naik menyesak ke kerongkongan. (QS 33: 10)
  3. Malam itu aku terbangun dan ingat akan RasuluLlah. Atas keinginan sendiri, aku beranjak, lalu berjaga di dekat kediaman beliau.
  4. Saat aku di sana, RasuluLlah bersabda dengan suara agak dikeraskan. “Adakah lelaki Shalih yang malam ini sudi menjaga kami?”
  5. Maka aku segera menjawab, “Labbaika Yaa RasulaLlah! Di sini Sa’d ibn Abi Waqqash berjaga untukmu!"
  6. "Sesungguhnya yang paling kusukai dari sabda beliau adalah kata-kata 'Lelaki Shalih', semoga itu menjadi doa bagi diriku."
  7. Beliau keluar menemuiku dengan senyum tulusnya. Setelah memberikan arahan & memesankan nasehat, beliau masuk kembali.
  8. Di larut itu, tiba-tiba kudengar bunyi keras menderu-deru dari ujung kota. Bergegas kunaiki kudaku dan kutuju arah asal suara.
  9. Aku memacu kudaku. Sampai di satu tempat gelap, dari arah berlawanan muncul bayangan penunggang kuda. Kusiapkan busur & panahku.
  10. Ketika mendekat, aku terkesiap. Ternyata dia RasuluLlah! Aku bertanya, “Dari mana engkau ya #Nabi? Sungguh aku khawatir atas deru tadi!”
  11. “Aku khawatir, pasukan musuh dalam jumlah besar datang untuk menyerang Madinah. Mohon pulanglah, dan izinkan aku memeriksanya.”
  12. RasuluLlah tersenyum padaku & bersabda, “Tenangkan dirimu hai Sa’d. Aku telah memeriksanya. Dan itu hanya suara angin gurun.”
  13. Aku terperangah, takjub & malu. Aku, si peronda, telah didahului oleh Sang Nabi yang kujaga dalam memeriksa kemungkinan bahaya.
  14. Kisah Sa’d ini menjadi pembelajaran indah. Bahwa Sang #Nabi meminta dijaga bukan karena manja atau suka dilayani pengikutnya.
  15. Kesiagaan & kegesitan beliau bahkan lebih tinggi daripada Sa’d yang meronda. Permintaan dijaga itu ternyata pendidikan maknanya.
  16. Sungguh menakjubkan; pemimpin ini adalah pembawa kedamaian, tak cuma dalam kata. Tapi dengan tindakan yang didasari ketulusan.
  17. Dan; kasih sayang agung yang membuat seluruh hidupnya terabdi tuk melayani, tak menghalangi beliau dalam mendidik sahabatnya.

*)https://twitter.com/#!/salimafillah

3 Mayat Korban Longsor Wonosobo Ditemukan, Total Tewas 8 Orang


Foto: Arbi Anugerah/detikcom
Wonosobo - Korban banjir bandang dan tanah longsor Desa Tieng Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah hanyut jauh hingga mencapai aliran Sungai Serayu di Kabupaten Banjarnegara. Tiga mayat dan satu potongan kaki perempuan yang diduga korban banjir bandang dan tanah longsor Desa Tieng, Kejajar, Wonosobo di temukan puluhan kilometer dari lokasi kejadian yaitu di sekitar Waduk PLTA Jenderal Soedirman atau yang dikenal Waduk Mrican di Kecamatan Bawang, Banjarnegara.

"Ada tiga mayat yang ditemukan. Satu laki-laki dan dua mayat perempuan. Selain itu Kita juga menemukan satu potongan kaki perempuan," kata Komandan SAR Banjarnegara, Aris Sudaryanto, kepada wartawan, Selasa (20/12/2011).

Menurut dia, mayat tersebut ditemukan oleh warga sekitar pukul 07.00 WIB. Tim SAR langsung melakukan evakuasi dan menginformasikan ke Tim SAR Wonosobo untuk proses identifikasi dan pengambilan jenazah.

Kemungkinan terhanyutnya para korban banjir bandang Desa Tieng, Kejajar hingga memasuki aliran Sungai Serayu sudah diprediksi oleh Tim SAR. Senin (19/12/2011) sore kemarin Tim SAR melakukan pemantauan di Jembatan Demangan yang merupakan titik pertemuan alur antara Kali Putih atau Sungai Ngesong dengan Sungai Serayu. Pasalnya, sebelumnya Tim SAR juga menemukan potongan tubuh berupa potongan kaki dan kepala di Kecamatan Garung, Wonosobo.

Dengan ditemukannya sejumlah mayat tersebut berarti jumlah korban tewas menjadi delapan orang dan tiga korban lainnya masih dalam pencarian.

Sebelumnya pada Minggu (18/12) pukul 13.30 WIB. Banjir bandang dan longsor yang terjadi di Dusun Tieng terjadi akibat hujan deras yang turun sejak kemarin dan mengakibatkan longsor di gunung Pakuwojo hingga masuk ke Sungai Ngesong. Karena besarnya banjir lumpur membuat Dusun Sidorejo RT 01 dan 02 RW VIII Desa Tieng luluh lantak diterjang banjir lumpur mengakibatkan 13 rumah hanyut dan 7 rumah mengalami rusak berat serta membuat 11 warganya hanyut terbawa derasnya banjir.

(anw/anw)http://www.detiknews.com

Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah


Oleh : Cahyadi Takariawan

Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara Tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta. Ustadz Tulus Musthafa menyampaikan tausiyah yang sangat mengena. Penjagaan terhadap kader pada era dakwah di ranah publik harus semakin dikuatkan. Sarananya, kata beliau, telah terangkum dalam Doa Rabithah yang rutin kita baca setiap pagi dan petang.

Sembari mengikuti tausiyah beliau, ingatan saya menerawang jauh ke belakang.....

Suatu masa, di era 1980-an.....

Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang aktivis dakwah, tidak banyak, hanya beberapa orang saja, duduk melingkar dalam sebuah majelis. Di ruangan yang sempit, diterangi lampu temaram, duduk bersila di atas tikar tua, khusyu’, khidmat, tawadhu’. 

Tidak banyak, hanya beberapa orang saja. Berbincang membelah kesunyian, pelan-pelan, tidak berisik. Semua datang dengan berjalan kaki, naik sepeda tua, atau naik kendaraan umum saja. Pakaian mereka sangat sederhana, apa adanya, bersahaja. Hati mereka sangat mulia.

Duapuluh tahun yang lalu, beberapa orang itu bercita-cita tentang kejayaan sebuah peradaban. Cita-cita besar, mengubah keadaan, menciptakan peradaban mulia. Wajah mereka tampak teduh, air wudhu telah membersihkan jiwa dan dada mereka. Tidak ada yang berbicara tentang fasilitas, materi, jabatan dan kekuasaan.

Mengakhiri majelis, mereka menundukkan wajah. Tunduk dalam kekhusyukan, larut dalam kehangatan persaudaraan, hanyut dalam samudera kecintaah. Doa Rabithah mereka lantunkan. Syahdu, menusuk kalbu.

Air mata berlinang, bercucuran. Akankah segelintir orang ini akan bisa mengubah keadaan ? Akan beberapa orang ini akan mampu menciptakan perubahan ? Hanya Allah yang mengetahui jawaban semua pertanyaan. Doa telah dimunajatkan, dari hati yang paling dalam :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.


Sejuk, menyusup sampai ke tulang, mengalir dalam darah. Meresap hingga ke sumsum dan seluruh sendi-sendi tubuh. Merekapun berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat. Masing-masing meninggalkan ruangan. Satu per satu. Hening, tenang. Tidak ada kegaduhan dan kebisingan.

Masa bergerak, ke era 1990-an

Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlahnya, berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Ruang itu milik sebuah Yayasan, yang disewa untuk kantor dan tempat beraktivitas. Mampu menampung hingga seratus orang. Semua duduk lesehan, di atas karpet. Lampu cukup terang untuk memberikan kecerahan ruang.

Sebuah Daurah Tarqiyah dilakukan. Para muwajih silih berganti datang memberikan arahan. Taujih para masyayikh di seputar urgensi bersosialisasi ke tengah kehidupan masyarakat, berinteraksi dengan tokoh-tokoh publik, memperluas jaringan kemasyarakatan dengan pendekatan personal dan kelembagaan. Semua aktivis diarahkan untuk membuka diri dan berkiprah secara luas di tengah masyarakat. Membangun jaringan sosial dan membentuk ketokohan sosial.

Sekumpulan aktivis dakwah, jumlahnya cukup banyak, datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa tampak mengendarai mobil Carry dan Kijang tua. Wajah mereka bersih, bersinar. Penampilan mereka tampak intelek, namun bersahaja. Sebagian berbaju batik, sebagian lainnya berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan celana yang serasi.

Acara berlangsung khidmat dan sederhana. Namun sangat sarat muatan makna. Sebuah keyakinan semakin terhujamkan dalam jiwa, bahwa kemenangan dekat waktunya. Kader dakwah terus bertambah, aktivitas dakwah semakin melimpah ruah. Semua optimis dengan perkembangan dakwah.

Usai acara ditutup dengan doa. Hati mereka khusyu’, jiwa mereka tawadhu’. Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlah mereka, menengadahkan tangan, sepenuh harapan dan keyakinan. Munajat sepenuh kesadaran :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.
Mereka berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat dan hangat. Hati mereka tulus, bekerja di jalan kebenaran, pasti Allah akan memberikan jalan kemudahan. Doa Rabithah mengikat hati-hati mereka, semakin kuat, semakin erat. 

Perlahan mereka meninggalkan ruangan, menuju tempat beraktivitas masing-masing. Khidmat, hening, namun tetap terpancar wajah yang cerah dan harapan yang terang benderang.

Masa terus mengalir, sampai ke era 2000-an....

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Memenuhi ruangan ber-AC, sebuah gedung pertemuan yang disewa untuk kegiatan. Diterangi lampu terang benderang, dengan sound system yang memadai, dan tata ruang yang tampak formal namun indah. Tampak bendera berkibar dimana-mana, dan sejumlah spanduk ucapan selamat datang kepada peserta dipasang indah di berbagai ruas jalan hingga memasuki ruangan.

Sebuah kegiatan koordinasi digelar untuk mempersiapkan perhelatan politik tingkat nasional. Para aktivis datang dengan sepeda motor dan mobil-mobil yang tampak memadati tempat parkir. Mereka hadir dengan mengenakan kostum yang seragam, bertuliskan kalimat dan bergambarkan lambang partai. Di depan ruang, tampak beberapa aktivis berseragam khas, menjaga keamanan acara.

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Mereka duduk berkursi, tampak rapi. Pakaian mereka formal dan bersih, sebagian tampak mengenakan jas dan dasi, bersepatu hitam mengkilap. Sebagian datang dengan protokoler, karena konsekuensi sebagai pejabat publik. Ada pengawal, ada ajudan, ada sopir, dan mobil dinas.

Para qiyadah hadir memberikan arahan dan taklimat, sesekali waktu disambut gegap gempita pekik takbir membahana. Rencana Strategis (Renstra) dicanangkan, program kerja digariskan, rancangan kegiatan telah diputuskan, para kader siap melaksanakan seluruh keputusan. Acara berlangsung meriah, diselingi hiburan grup nasyid yang tampil dengan penuh semangat.

Acara selesai, diakhiri dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, memimpin doa, munajat kepada Allah dengan kerendahan hati dan sepenuh keyakinan akan dikabulkan. Doa pun diumandangkan :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.

Acara resmi ditutup. Para aktivis berdiri, berjabat tangan, meninggalkan ruangan dengan khidmat. Terdengar kebisingan suara sepeda motor dan mobil yang mesinnya dihidupkan. Sepeninggal mereka, tampak panitia sibuk membereskan ruangan.

Masa cepat bergulir, hingga di era 2010-an.....

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Harus menyediakan ruangan yang sangat besar untuk menampung jumlah tersebut. Ruang kantor Yayasan sudah tidak bisa menampung, ruang pertemuan yang sepuluh tahun lalu digunakan, sekarang sudah tampak terlampau kecil. Harus menyewa gedung pertemuan yang memiliki hall besar agar menampung antusias para aktivis dari berbagai daerah untuk datang.

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang naik pesawat, berasal dari Aceh hingga Papua. Berseragam rapi, semua mengenakan atribut dan jas berlambang partai. Peserta yang datang dari wilayah setempat datang dengan mobil atau taksi. Semua tampak rapi dan bersih.

Ruangan yang besar itu penuh diisi para aktivis dakwah yang datang dari seluruh pelosok wilayah. Dakwah telah tersebar hingga ke seluruh penjuru tanah air. Sebagian telah menempati posisi strategis sebagai pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, baik di eksekutif maupun legislatif. Hadir dengan sepenuh keyakinan dan harapan akan adanya perubahan menuju pencerahan.

Berbagai problem dan persoalan diutarakan. Berbagai ketidakpuasan disampaikan. Banyak kritik dilontarkan. Banyak saran dan masukan diungkapkan. Semua berbicara, mengevaluasi diri, mengaca kelemahan dan kekurangan, memetakan arah tujuan, namun tetap dalam bingkai kecintaan dan kasih sayang. Para aktivis sadar bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus menerus diperbaiki dan dikuatkan. Semua bertekad untuk terus berusaha menyempurnakan.

Sang Qiyadah memberikan taujih dengan sepenuh kehadiran jiwa, “Nabi telah berpesan, bahwa sesungguhnya kalian dimenangkan karena orang-orang lemah di antara kalian. Maka tugas kita adalah selalu memberikan perhatian terhadap masyarakat, terlebih lagi kelompok dhuafa. Termasuk dhuafa di antara kader dakwah. Jangan pernah melupakan kerja para kader yang telah berjuang di pelosok-pelosok daerah. Lantaran kerja merekalah kita diberikan kemenangan oleh Allah”.

Lugas, tuntas. Arahan telah sangat jelas. Acara pun berakhir, ditutup dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, mengajak semua peserta menghadirkan hati dan jiwa, dengan khusyu’ munajat kepadaNya agar senantiasa diberikan pertolongan dan kekuatan. Doapun dilantunkan :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.

Ternyata, doa Rabithah telah menghiasi perjalanan panjang kami. Bergerak melintasi zaman, dengan beragam tantangan, dengan aneka persoalan. Para aktivis selalu setia dengan arah tujuan, bergerak pasti menuju ridha Ilahi. Doa Rabithah tidak pernah lupa dimunajatkan, di waktu pagi dan malam hari.

Kesetiaan telah teruji pada garis waktu yang terus bergerak. Lintasan mihwar membawa para aktivis menuju kesadaran, bahwa kejayaan adalah keniscayaan, selama isi Doa Rabithah diamalkan, bukan sekedar diucapkan.....

Kabulkan permohonan kami, Ya Allah....